PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7/PMK.03/2015
TENTANG
TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN
HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008
diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk melakukan
perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas
pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode
tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir;
|
|||
b.
|
bahwa perjanjian antara Direktur Jenderal Pajak
dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dimaksudkan untuk
memberikan kepastian dan menghindari terjadinya kesalahan dalam rangka
penentuan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa;
|
|||||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan
Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 74 TAHUN 2011
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara
Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement);
|
|||||
Mengingat
|
:
|
1.
|
Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983
tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
|||||
3.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 74 TAHUN 2011
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
|
|||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT).
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||||
1.
|
Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
|
|||||
2.
|
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara
atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
|
|||||
3.
|
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia
dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah
terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
|
|||||
4.
|
Otoritas Pajak Negara Mitra atau Otoritas Pajak
Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Otoritas Pajak Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra adalah otoritas perpajakan pada Negara Mitra atau
otoritas perpajakan pada Yurisdiksi Mitra yang berwenang melaksanakan
ketentuan dalam P3B.
|
|||||
5.
|
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)
yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur
dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan
P3B.
|
|||||
6.
|
Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah
disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari
Pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
|
|||||
7.
|
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:
|
|||||
a.
|
Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau
|
|||||
b.
|
Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak,
|
|||||
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a)
Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya untuk menyepakati
kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar
dimuka.
|
||||||
8.
|
Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa
sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
|
|||||
9.
|
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm’s length principle
(ALP)) yang selanjutnya disebut Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
adalah prinsip yang menyatakan bahwa apabila kondisi dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama
atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang dijadikan
sebagai pembanding, harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dimaksud harus sama
dengan atau berada dalam rentang harga atau rentang laba dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa yang dijadikan sebagai pembanding.
|
|||||
10.
|
Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau
laba yang terjadi atas transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi yang sebanding atau
harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
|
|||||
11.
|
Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang selanjutnya disebut Transfer Pricing adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
|
|||||
12.
|
Analisis Kesebandingan adalah analisis yang
dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak atas kondisi
dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi yang
sebanding dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, dan analisis untuk mengidentifikasi atas
perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
|
|||||
13.
|
Naskah APA adalah dokumen yang berisi
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak di
Indonesia mengenai penentuan harga transfer dan kriteria-kriteria dalam
penentuan harga transfer untuk tahun pajak selama jangka waktu APA.
|
|||||
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2 |
||||||
(1)
|
Pengajuan APA dapat dilakukan oleh:
|
|||||
a.
|
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib
Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia; atau
|
|||||
b.
|
Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak dalam negeri Indonesia dan Wajib
Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
mengajukan APA sepanjang telah beroperasi atau melakukan kegiatan usaha
di Indonesia paling singkat selama 3 (tiga) tahun.
|
|||||
(3)
|
Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
|||||
(4)
|
Pengajuan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
|
|||||
Pasal 3
|
||||||
(1)
|
APA berlaku dan mengikat bagi:
|
|||||
a.
|
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; atau
|
|||||
b.
|
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak dan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra,
|
|||||
selama jangka waktu APA.
|
||||||
(2)
|
APA paling sedikit memuat:
|
|||||
a.
|
para pihak yang memiliki Hubungan Istimewa;
|
|||||
b.
|
transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA;
|
|||||
c.
|
metode Transfer Pricing;
|
|||||
d.
|
pembanding (comparables);
|
|||||
e.
|
jangka waktu berlakunya APA;
|
|||||
f.
|
asumsi kritikal (critical assumptions); dan
|
|||||
g.
|
penyesuaian Transfer Pricing (transfer pricing adjustment).
|
|||||
Pasal 4
|
||||||
Jangka waktu pemberlakuan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat diberikan:
|
||||||
a.
|
paling lama 3 (tiga) tahun pajak; atau
|
|||||
b.
|
paling lama 4 (empat) tahun pajak, untuk APA
yang pembahasannya melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
|
|||||
BAB III
PEMBENTUKAN APA
Pasal 5 |
||||||
(1)
|
Tahapan pembentukan APA meliputi:
|
|||||
a.
|
pengajuan permohonan pembicaraan awal oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
|
|||||
b.
|
pembicaraan awal antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
|
|||||
c.
|
penyampaian undangan dari Direktur Jenderal
Pajak kepada Wajib Pajak dalam rangka pengajuan permohonan APA
berdasarkan hasil dari pembicaraan awal;
|
|||||
d.
|
pengajuan permohonan APA oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak;
|
|||||
e.
|
pembentukan tim pembahas APA oleh Direktur Jenderal Pajak;
|
|||||
f.
|
analisis dan evaluasi serta pembahasan permohonan APA oleh tim pembahas dengan Wajib Pajak;
|
|||||
g.
|
pembahasan APA melalui MAP, dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
|
|||||
h.
|
penyusunan Naskah APA; dan
|
|||||
i.
|
penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA tersebut.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal APA diajukan oleh Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, tahapan pembentukan
APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap harus dipenuhi oleh Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait
dengan permohonan APA.
|
|||||
Bagian Kesatu
Pembicaraan Awal
Pasal 6 |
||||||
(1)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a mengajukan permohonan pembicaraan awal secara tertulis
kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan transaksi dan tahun
pajak yang akan dicakup dalam APA.
|
|||||
(2)
|
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan
pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan
pernyataan kesediaan secara tertulis untuk menyediakan seluruh dokumen
yang diperlukan dalam proses permohonan APA, dan melengkapi dokumen
pendukung sebagai berikut:
|
|||||
a.
|
penjelasan dari Wajib Pajak mengenai alasan mengajukan permohonan APA;
|
|||||
b.
|
penjelasan mengenai kegiatan dan usaha Wajib Pajak;
|
|||||
c.
|
penjelasan mengenai rencana usaha (business plan) Wajib Pajak;
|
|||||
d.
|
struktur perusahaan yang meliputi antara lain struktur kelompok usaha, struktur kepemilikan dan struktur organisasi;
|
|||||
e.
|
penjelasan mengenai pemegang saham dan penjelasan mengenai transaksi yang dilakukan oleh pemegang saham dengan Wajib Pajak;
|
|||||
f.
|
penjelasan mengenai pihak-pihak lainnya yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak dan penjelasan rinci
mengenai transaksi yang dilakukan pihak-pihak lain tersebut dengan Wajib
Pajak;
|
|||||
g.
|
penjelasan mengenai transaksi dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk 3 (tiga) tahun pajak terakhir, dalam hal ada;
|
|||||
h.
|
penjelasan mengenai transaksi yang diusulkan untuk dibahas dan yang dicakup dalam APA;
|
|||||
i.
|
metode dan penjelasan atas penentuan harga
transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak dan dokumentasi yang dilakukan
oleh Wajib Pajak mengenai Analisis Kesebandingan, analisis fungsional,
pemilihan dan penentuan pembanding, dan penentuan metode Transfer Pricing;
|
|||||
j.
|
penjelasan mengenai situasi atau keadaan dalam
kegiatan atau usaha Wajib Pajak yang perubahannya dapat mempengaruhi
secara material kesesuaian metode Transfer Pricing Wajib Pajak;
|
|||||
k.
|
penjelasan mengenai sistem akuntansi, proses produksi, dan proses pembuatan keputusan;
|
|||||
l.
|
penjelasan mengenai pihak lain yang menjadi
pesaing yang mempunyai jenis kegiatan atau usaha atau produk yang sama
atau sejenis dengan Wajib Pajak, termasuk penjelasan mengenai
karakteristik dan pangsa pasar pesaing;
|
|||||
m.
|
fotokopi akta pendirian dan perubahan Wajib Pajak, atau sejenisnya;
|
|||||
n.
|
fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan Laporan Keuangan Wajib Pajak selama 3 (tiga) tahun terakhir; dan
|
|||||
o.
|
dokumen pendukung lainnya yang diperlukan.
|
|||||
(3)
|
Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
|
|||||
a.
|
berdasarkan transaksi riil dan/atau transaksi yang sudah direncanakan berdasarkan keputusan pengurus atau direksi perusahaan;
|
|||||
b.
|
sesuai dengan pedoman atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Transfer Pricing; dan
|
|||||
c.
|
tidak dilakukan semata-mata untuk meminimalisasi beban pajak.
|
|||||
(4)
|
Permohonan pembicaraan awal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
|
|||||
Pasal 7
|
||||||
(1)
|
Dalam hal pengajuan APA dilakukan oleh Wajib
Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b melalui Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3),
Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait
dengan permohonan APA.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan APA menyetujui
permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra
atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan
permohonan APA mengajukan permohonan pembicaraan awal sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
|
|||||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan APA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang terkait dengan permohonan
APA tidak menyetujui permohonan APA yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam
negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
|||||
Pasal 8
|
||||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak melakukan pembicaraan awal dengan Wajib Pajak untuk:
|
|||||
a.
|
membahas perlu atau tidaknya dilaksanakan APA;
|
|||||
b.
|
membahas ruang lingkup APA yang diusulkan oleh Wajib Pajak;
|
|||||
c.
|
memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan penentuan metode Transfer Pricing yang diusulkannya;
|
|||||
d.
|
membahas kemungkinan pembentukan APA yang melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
|
|||||
e.
|
membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
|
|||||
f.
|
membahas jangka waktu dan periode tahun pajak yang dicakup dalam pembentukan APA; dan
|
|||||
g.
|
membahas hal-hal lain yang terkait dengan pembentukan dan penerapan APA.
|
|||||
(2)
|
Atas permohonan pembicaraan awal dari Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Direktur Jenderal
Pajak melakukan evaluasi dan menentukan jadwal pembicaraan awal dengan
Wajib Pajak.
|
|||||
(3)
|
Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali.
|
|||||
(4)
|
Dalam rangka pembicaraan awal, Direktur Jenderal
Pajak dapat melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak
untuk melengkapi data atau informasi yang diperlukan.
|
|||||
Pasal 9
|
||||||
(1)
|
Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pembahasan APA.
|
|||||
(2)
|
Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak mengikat Direktur Jenderal Pajak atau Wajib Pajak untuk
menindaklanjuti ke tahap pembahasan APA.
|
|||||
Bagian Kedua
Undangan Pengajuan Permohonan APA
Pasal 10 |
||||||
(1)
|
Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 8 Direktur Jenderal Pajak
memutuskan bahwa pembicaraan awal dapat ditindaklanjuti ke tahap
pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat undangan
kepada Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan APA.
|
|||||
(2)
|
Surat undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sebelum
dimulainya tahun pajak yang akan dicakup dalam APA.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal berdasarkan hasil pembicaraan awal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Direktur Jenderal Pajak memutuskan
bahwa pembicaraan awal dengan Wajib Pajak tidak dapat ditindaklanjuti ke
tahap pembahasan APA, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat
pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak
dapat mengajukan permohonan APA.
|
|||||
(4)
|
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan
sebelum berakhirnya tahun pajak yaitu tahun diajukannya permohonan
pembicaraan awal APA oleh Wajib Pajak.
|
|||||
Bagian Ketiga
Permohonan APA
Pasal 11 |
||||||
(1)
|
Berdasarkan undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1), Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan APA kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan
mencantumkan informasi sebagai berikut:
|
|||||
a.
|
nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak;
|
|||||
b.
|
identitas pendukung pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib Pajak; dan
|
|||||
c.
|
ruang lingkup transaksi dan tahun pajak yang dicakup dalam APA.
|
|||||
(2)
|
Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
|||||
a.
|
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
|
|||||
b.
|
ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakilnya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang; dan
|
|||||
c.
|
dalam hal ditandatangani oleh kuasa, dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.
|
|||||
(3)
|
Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan dokumen pendukung meliputi:
|
|||||
a.
|
penjelasan rinci mengenai hasil pembicaraan awal
yang telah dilakukan sebelumnya antara Direktur Jenderal Pajak dengan
Wajib Pajak;
|
|||||
b.
|
penjelasan rinci mengenai metode Transfer Pricing yang diusulkan oleh Wajib Pajak, termasuk dokumentasi yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak;
|
|||||
c.
|
penjelasan rinci mengenai kondisi yang membentuk metode Transfer Pricing;
|
|||||
d.
|
penjelasan rinci dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa penerapan metode Transfer Pricing yang diusulkan oleh Wajib Pajak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha;
|
|||||
e.
|
penjelasan rinci mengenai analisis asumsi kritikal (critical assumptions); dan
|
|||||
f.
|
dokumen pendukung terkait lainnya yang diperlukan.
|
|||||
(4)
|
Permohonan APA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diterima oleh Direktur Peraturan Perpajakan II paling lambat pada akhir
tahun pajak sebelum dimulainya tahun pajak yang dicakup dalam APA.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA
dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui
sampai dengan paling lama 1 (satu) tahun, tahun pajak yang dicakup dalam
APA menjadi berkurang 1 (satu) tahun pajak.
|
|||||
(6)
|
Dalam hal batas waktu diterimanya permohonan APA
dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui,
permohonan APA tidak dapat ditindaklanjuti ke tahap pembahasan APA.
|
|||||
Bagian Keempat
Pembahasan APA
Pasal 12 |
||||||
(1)
|
Berdasarkan permohonan APA, Direktur Jenderal Pajak membentuk tim pembahas APA.
|
|||||
(2)
|
Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berasal dari unsur-unsur pegawai negeri sipil di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak, dan/atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak.
|
|||||
(3)
|
Tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mempunyai tugas:
|
|||||
a.
|
melakukan analisis dan evaluasi atas permohonan APA termasuk analisis ekonomi untuk tahun pajak yang dicakup dalam APA;
|
|||||
b.
|
mengajukan usul pemeriksaan tujuan lain dalam rangka analisis dan evaluasi atas permohonan APA, dalam hal diperlukan;
|
|||||
c.
|
meminta Wajib Pajak untuk memberikan data atau
informasi lain yang diperlukan serta melakukan peninjauan ke tempat
kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa, dalam hal diperlukan;
|
|||||
d.
|
meminta informasi yang diperlukan dari pihak terkait lainnya, dalam hal diperlukan;
|
|||||
e.
|
melakukan pembahasan APA dengan Wajib Pajak;
|
|||||
f.
|
melakukan pembahasan dengan unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
|
|||||
g.
|
menyiapkan usulan rekomendasi naskah posisi APA Direktorat Jenderal Pajak; dan
|
|||||
h.
|
melakukan dokumentasi atas kegiatan dalam rangka APA.
|
|||||
(4)
|
Pembahasan APA dengan Wajib Pajak meliputi:
|
|||||
a.
|
ruang lingkup transaksi dan tahun pajak yang akan dicakup oleh APA;
|
|||||
b.
|
analisis kesebandingan, pemilihan, dan penentuan data pembanding;
|
|||||
c.
|
penentuan metode Transfer Pricing yang tepat;
|
|||||
d.
|
kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) dalam penentuan metode Transfer Pricing; dan
|
|||||
e.
|
penjelasan mengenai ada atau tidaknya pengenaan pajak berganda.
|
|||||
(5)
|
Pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dilakukan dengan memenuhi standar analisis dan evaluasi yang
meliputi standar umum analisis dan evaluasi, standar pelaksanaan
analisis dan evaluasi, dan standar pelaporan hasil analisis dan
evaluasi.
|
|||||
Pasal 13
|
||||||
(1)
|
Dalam hal berdasarkan pembahasan APA sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) diketahui dapat menyebabkan terjadinya
pengenaan pajak berganda, Direktur Jenderal Pajak dapat:
|
|||||
a.
|
mengajukan permohonan MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
|
|||||
b.
|
menerima permohonan APA yang diajukan oleh Wajib
Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, pembahasan APA dilakukan
sesuai dengan perundang-undangan yang mengatur mengenai MAP.
|
|||||
Pasal 14
|
||||||
(1)
|
Terhadap hasil analisis dan evaluasi permohonan
APA, tim pembahas APA menyampaikan usulan rekomendasi APA kepada
Direktur Jenderal Pajak.
|
|||||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak membahas usulan
rekomendasi APA dari tim pembahas APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersama dengan tim quality assurance.
|
|||||
(3)
|
Tim quality assurance sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan tim yang dibentuk oleh Direktur
Jenderal Pajak untuk membahas usulan rekomendasi APA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
|
|||||
(4)
|
Berdasarkan hasil pembahasan usulan rekomendasi APA antara Direktur Jenderal Pajak dengan tim quality assurance, Direktur Jenderal Pajak memutuskan untuk menyetujui atau tidaknya usulan rekomendasi APA dimaksud.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, hasil pembahasan Direktur
Jenderal Pajak dengan tim quality assurance sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai posisi runding Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan MAP.
|
|||||
Pasal 15
|
||||||
(1)
|
Pembahasan APA dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak permohonan APA diterima.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal pembahasan APA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memerlukan perpanjangan waktu mengingat adanya pengajuan
pemeriksaan tujuan lain dalam rangka analisis dan evaluasi atas
permohonan APA, perpanjangan waktu pembahasan APA dimaksud dapat
dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu
pembahasan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||||
(3)
|
Dalam hal pembahasan APA melibatkan Otoritas
Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, jangka waktu pembahasan APA
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam MAP.
|
|||||
Pasal 16
|
||||||
(1)
|
Hasil pembahasan APA berupa kesepakatan antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau tidak dicapai
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal APA melibatkan Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra, kesepakatan yang dicapai sebagai hasil
pembahasan APA dituangkan dalam Persetujuan Bersama.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal hasil pembahasan APA sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa tidak dicapai kesepakatan, permohonan APA
dianggap batal.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal APA yang melibatkan Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak menghasilkan Persetujuan
Bersama, tindak lanjut pembahasan APA berupa:
|
|||||
a.
|
pembahasan APA yang hanya dilakukan antara
Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a; atau
|
|||||
b.
|
penghentian pembahasan APA.
|
|||||
Bagian Kelima
Naskah APA
Pasal 17 |
||||||
(1)
|
Hasil pembahasan APA yang berupa kesepakatan
antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) ditindaklanjuti dengan penyusunan Naskah APA.
|
|||||
(2)
|
Naskah APA ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
|
|||||
(3)
|
Naskah APA paling sedikit memuat:
|
|||||
a.
|
nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak,
alamat Wajib Pajak, serta identitas pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan Wajib Pajak yang terkait dengan APA;
|
|||||
b.
|
ruang Iingkup transaksi yang dicakup;
|
|||||
c.
|
tahun pajak yang dicakup;
|
|||||
d.
|
ketentuan umum yang digunakan dalam APA;
|
|||||
e.
|
metode Transfer Pricing yang disepakati;
|
|||||
f.
|
faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) penerapan metode Transfer Pricing;
|
|||||
g.
|
Harga Wajar atau Laba Wajar, atau rentang Harga
Wajar atau rentang Laba Wajar untuk setiap jenis barang/jasa atau
transaksi yang dicakup;
|
|||||
h.
|
kewajiban yang harus dilaksanakan dalam penerapan APA dan kewajiban pelaporan;
|
|||||
i.
|
konsekuensi hukum;
|
|||||
j.
|
kerahasiaan informasi;
|
|||||
k.
|
peninjauan kembali dan pembatalan;
|
|||||
l.
|
mekanisme penyelesaian masalah yang timbul dalam penerapan APA;
|
|||||
m.
|
kondisi yang menyebabkan Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau atau membatalkan APA; dan
|
|||||
n.
|
informasi lain yang mendukung keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf m.
|
|||||
Pasal 18
|
||||||
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan yang berisi mengenai Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA tersebut.
|
||||||
BAB IV
PELAKSANAAN, EVALUASI, DAN PEMBARUAN (RENEWAL) APA
Bagian Kesatu
Pelaksanaan APA
Pasal 19 |
||||||
(1)
|
APA diberlakukan terhitung sejak tahun pajak saat Naskah APA disepakati.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal APA melibatkan Otoritas Pajak Negara
Mitra atau Yurisdiksi Mitra, APA diberlakukan sesuai dengan hasil
Persetujuan Bersama.
|
|||||
Bagian Kedua
Evaluasi APA
Pasal 20 |
||||||
(1)
|
Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) kepada Direktur Jenderal paling lambat 4 (empat) bulan setelah berakhirnya tahun pajak.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Naskah APA yang disusun berdasarkan
Persetujuan Bersama menyepakati cakupan tahun pajak sebelum
ditandatanganinya Naskah APA, penyampaian laporan kepatuhan tahunan yang
meliputi tahun pajak sebelum tahun pajak ditandatanganinya Naskah APA
disampaikan paling lambat 4 (empat) bulan setelah bulan
ditandatanganinya Naskah APA.
|
|||||
(3)
|
Laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi kesesuaian pelaksanaan APA
dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk seluruh tahun pajak yang dicakup dalam APA, dan harus memuat:
|
|||||
a.
|
penjelasan rinci mengenai kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Transfer Pricing dalam transaksi yang dicakup dalam APA;
|
|||||
b.
|
penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Transfer Pricing;
|
|||||
c.
|
penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) penerapan metode Transfer Pricing; dan
|
|||||
d.
|
informasi lain yang mendukung penjelasan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c.
|
|||||
(4)
|
Faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c antara lain:
|
|||||
a.
|
perubahan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan aturan pelaksanaannya;
|
|||||
b.
|
perubahan tarif dan bea masuk;
|
|||||
c.
|
perubahan ketentuan perundang-undangan di bidang usaha yang terkait;
|
|||||
d.
|
peristiwa di luar kekuasaan dan kendali manusia/perusahaan (force majeur);
|
|||||
e.
|
munculnya pesaing baru yang mempengaruhi struktur harga pasar secara signifikan;
|
|||||
f.
|
keluarnya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kegiatan Wajib Pajak;
|
|||||
g.
|
perubahan kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi volume penjualan, unit produksi, atau pangsa pasar secara signifikan;
|
|||||
h.
|
perubahan kegiatan usaha Wajib Pajak, seperti restrukturisasi perusahaan; atau
|
|||||
i.
|
perubahan nilai tukar mata uang yang signifikan.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal terjadi faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||||
(6)
|
Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan
peninjauan ulang atau permohonan pembatalan APA dalam hal terjadi
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (4), paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak timbulnya faktor-faktor dimaksud.
|
|||||
Pasal 21
|
||||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
|
|||||
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali atau membatalkan APA dalam hal:
|
|||||
a.
|
Wajib Pajak tidak mematuhi APA;
|
|||||
b.
|
Wajib Pajak menyampaikan data/informasi yang tidak benar;
|
|||||
c.
|
Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan kepatuhan tahunan (annual compliance report) sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2);
|
|||||
d.
|
Wajib Pajak menyampaikan laporan kepatuhan tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3);
|
|||||
e.
|
terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (assumption critical) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4);
|
|||||
f.
|
Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5);
|
|||||
g.
|
Wajib Pajak menyampaikan permohonan peninjauan
ulang atau permohonan pembatalan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (6);
|
|||||
h.
|
ditemukan fakta bahwa APA memuat kesalahan; atau
|
|||||
i.
|
Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak meninjau
kembali atau membatalkan APA sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Direktur Jenderal Pajak mengirimkan surat pemberitahuan peninjauan
kembali atau pembatalan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a atau kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Wajib
Pajak melakukan peninjauan kembali Naskah APA, hasil peninjauan kembali
dimaksud dituangkan dalam perubahan Naskah APA dan ditandatangani oleh
Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak memutuskan
dilakukan peninjauan kembali Naskah APA sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai perubahan
atas keputusan penerbitan Naskah APA dan pelaksanaan Naskah APA.
|
|||||
(6)
|
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak memutuskan
dilakukan pembatalan APA, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan
mengenai pencabutan atas keputusan penerbitan Naskah APA dan pelaksanaan
Naskah APA.
|
|||||
Bagian Ketiga
Pembaruan (Renewal) APA
Pasal 22 |
||||||
(1)
|
Pembaruan (renewal) APA dapat dilakukan pada tahun pajak terakhir berlakunya APA.
|
|||||
(2)
|
Pengajuan pembaruan (renewal) APA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sama dengan pengajuan
APA sesuai tahapan pembentukan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
|
|||||
(3)
|
Dalam rangka melakukan pembaruan (renewal) APA, Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan dalam APA yang dilakukan pembaruan (renewal).
|
|||||
BAB V
DOKUMENTASI
Pasal 23 |
||||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak melakukan dokumentasi atas seluruh tahapan dalam pelaksanaan pembentukan APA, termasuk:
|
|||||
a.
|
hasil analisis dan evaluasi APA;
|
|||||
b.
|
hasil pembahasan APA;
|
|||||
c.
|
agreed minutes atau records of discussion selama pembentukan APA;
|
|||||
d.
|
surat menyurat, termasuk surat menyurat elektronik; dan
|
|||||
e.
|
media rekam digital atau elektronik.
|
|||||
(2)
|
Dokumen atau informasi yang disampaikan oleh
Wajib Pajak dalam pembentukan APA merupakan kerahasiaan Wajib Pajak yang
dilarang untuk diberitahukan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 Undang-Undang.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal proses pembentukan APA tidak dicapai
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau
Direktur Jenderal Pajak membatalkan APA, dokumen Wajib Pajak yang
dipergunakan selama proses pembentukan APA harus dikembalikan kepada
Wajib Pajak.
|
|||||
(4)
|
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dapat digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk
melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan.
|
|||||
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 24 |
||||||
(1)
|
APA tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak
untuk melaksanakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau
penyidikan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal APA yang melibatkan Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra berakibat pada pembetulan surat
ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan, pembetulan surat
ketetapan pajak atau surat keputusan keberatan dimaksud dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||
(3)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (4), untuk permintaan dan/atau perolehan dokumen
yang diperlukan oleh Direktur Jenderal Pajak pada saat melakukan
pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, permintaan dan/atau perolehan dokumen dimaksud
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan.
|
|||||
Pasal 25
|
||||||
(1)
|
Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal Pajak
dapat menghadirkan tenaga ahli di luar Direktorat Jenderal Pajak pada
tahapan pembentukan APA.
|
|||||
(2)
|
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat menghadirkan tenaga ahli pada tahapan pembentukan APA.
|
|||||
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26 |
||||||
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini,
terhadap pengajuan APA yang telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Naskah
APA, dilakukan pemrosesan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri
ini.
|
||||||
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27 |
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan tim pembahas dan tim quality assurance, dan tahap pembentukan APA, serta pelaksanaan, evaluasi, dan pembaruan (renewal) APA diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
||||||
Pasal 28
|
||||||
Peraturan Menteri ini berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
|
||||||
Ditetapkan di Jakarta
|
||||||
pada tanggal 12 Januari 2015
|
||||||
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
|
||||||
ttd.
|
||||||
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
|
||||||
Diundangkan di Jakarta
|
||||||
pada tanggal 12 Januari 2015
|
||||||
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
|
||||||
ttd.
|
||||||
YASONNA H. LAOLY
|
||||||
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 39
| ||||||
0 comments:
Post a Comment
No SPAM, SARA, Pornography, Gambling